“Hiduplah bagai pohon, ia akan tetap berdiri kokoh walau diterpa angin. Jadilah seperti karang, ia kan tetap tegar diterjang ombak badai yang menghadang. Dan, lihatlah ke langit, ia tak selalu cerah”
***
Lima tahun berlalu. Ku jalani hari-hari dengan warna-warni pelangi yang mengiringi. Indah sungguh karunia Ilahi untuk keluarga kecil kami ini. Hingga suatu ketika, hari sudah menjelang siang saat kuterima sebuah panggilan di gawaiku yang berasal dari nomor kantor suamiku.
Mas Andi mendapat musibah. Kecelakaan kerja saat melaksanakan tugas telah merenggut nyawanya. Ia terjatuh saat memasang alat pemancar di sebuah tower setinggi lima puluh meter. Alat pengamannya ternyata tidak terpasang dengan baik. Innalillahi wainna’ilaihi rojiun. Ya Allah.. Semuanya kan kembali kepada-Mu. Aku terduduk lemas. Ku kumpulkan semua dayaku. Ku hanya bisa pasrah.
Seusai mendapatkan kabar itu, aku pun langsung bergegas menuju rumah sakit. Di sepanjang perjalanan, kurasakan teriknya panas mentari. Namun hal itu tak mampu menghangatkan perasaanku. Sedih yang kurasa tak bisa kubendung. Membuat sel-sel dalam tubuhku terasa membeku. Hingga kelu lidahku, lemah persendianku. Namun aku harus kuat. Masih ada Salma dan Ihsan yang membutuhkanku.
***
Setahun berlalu setelah kepergian suamiku. Sejak saat itu, ku hanya mengandalkan uang gaji hasil mengajarku yang tidak seberapa. Beruntung yayasan tempatku mengajar menggratiskan biaya sekolah Salma dan Ihsanku. Di sana mereka bisa mengenyam pendidikan terbaik. Sebuah sekolah yang mengusung pendidikan yang berkomitmen untuk mencetak generasi yang tidak hanya mumpuni ilmu dunianya, namun juga dibekali dengan ilmu agama.
Salma dan Ihsan, dua anak angkatku ini, hanya mereka sekarang yang menjadi pelipur laraku. Aku senantiasa mendidik mereka dengan segala upayaku, berharap kelak menjadi anak yang bisa menjadi pemberat timbangan amalku. Doa-doa dari mereka menciptakan butir-butir mutiara yang menghiasi kehidupanku.
Di sekolah, anak-anak ini merupakan anak yang berprestasi. Dikenal baik oleh guru-gurunya, yang merupakan teman-teman seprofesiku. Kami semua sangat dekat. Sudah seperti keluarga sendiri. Saling bantu dan support, sesuatu yang lumrah di antara kami. Bersyukur bisa bergabung di sini.
Sebenarnya, ada satu hal yang mengganjal dalam hatiku. Ku perhatikan, kondisi kesehatan Salma terus menurun. Salma yang senantiasa ceria berubah menjadi sosok pendiam. Fisiknya tampak kian hari kian lemah. Wajahnya pun tanpak pucat. Namus seperti tidak dirasakan olehnya. Ia tetap bersikeras untuk berangkat ke sekolah. Ia pernah bilang kalau mau jadi dokter, jadi harus giat belajarnya. Oh, Salma, semoga bisa terkabul cita-cita muliamu ya nak, ujarku saat itu.
***
Setelah menyediakan segala sesuatunya di rumah, pagi itu aku bersiap berangkat tanpa Salma dan Ihsan. Beberapa hari ke depan mereka libur dikarenakan kakak kelas enam akan melaksanakan ujian praktek di sekolah. Sebelum pergi, aku berpesan agar Salma dan Ihsan baik-baik berada di rumah. Tidak lupa, ku titipkan mereka pada seorang tetanggaku yang sudah ku kenal baik, yang tinggal persis di samping rumahku.
Belum jauh ku melangkah, Ihsan tiba-tiba berteriak padaku,
“Ummi.. Kak Salma..!” Setengah berlari ia menyusulku.
“Kenapa kak Salma, Ihsan?” tanpa menunggu jawabannya, aku langsung bergegas masuk kembali ke dalam rumah.
Ku lihat Salma jatuh pingsan dekat meja makan. Wajahnya pucat pasi. Langsung saja ku minta pertolongan tetanggaku. Dengan menggunakan kendaraan pribadinya, Salma dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dengan sigap, petugas melakukan beberapa tindakan. Namun apa daya, semua atas kuasa Allah SWT. Saat itu juga Salma menghembuskan napas terakhirnya. Sekali lagi aku harus ikhlas. Allah lebih sayang pada Salma. Meskipun kami semua merasa kehilangan. Terutama Ihsan.
***
Sejak itu, aku menjadi lebih ‘parno’. Sangat protek terhadap Ihsan, khawatir Ihsan mengalami hal serupa. Karena kondisi Ihsan sebenarnya tidak jauh berbeda. Sejak awal perjumpaan dengan mereka, aku memang kurang paham pada kondisi kesehatannya. Apalagi, di kehidupan sebelumnya, Salam dan Ihsan hidup di jalanan, banyak mengalami kekerasan fisik yang pada akhirnya mengakibatkan pada kesehatan pada masa-masa berikutnya.
Dan benar saja, tepat sebulan yang lalu, saat menonton televisi, tiba-tiba Ihsan kejang-kejang. Hasil diagnosis dokter adalah, Ihsan positif epilepsi. Hal ini disebabkan karena cidera otak akibat terjatuh saat kecilnya dulu. Dan efeknya baru dirasakan beberapa bulan belakangan ini. Oleh karenanya, Ihsan harus rutin menjalani perawatan dokter.
Ihsan yang baru kelas satu sekolah dasar, nampak sehat-sehat saja. Pembawaannya yang selalu ceria tidak menunjukkan kelainan pada sistem metabolisme tubuhnya. Ia sangat menikmati masa-masa sekolahnya. Kesupelannya membuat temannya banyak. Bahkan kakak-kakak kelas di sekolahnya begitu mengenal Ihsan.
***
Hingga tibalah sebuah peristiwa yang menimpa Ihsan. Seperti biasa, aku hadir di sekolah bersama Ihsan pagi-pagi sekali. Menjalani hari seperti biasanya. Belajar dan bermain bersama teman-teman dan ibu gurunya. Hari ini, sepulang sekolah adalah jadwal ekskul Ihsan berenang. Dan saat ekskul adalah saat yang paling dinantikan. Ia suka sekali berenang. Padahal sebenarnya, kondisi kesehatannya tidak mendukung. Namun ku pikir, selama ini ia baik-baik saja. Jadi akhirnya ku biarkan Ihsan tetap pada pilihannya untuk mengikuti kegiatan ekskul renang di sekolah.
Siang itu kulepas ia pergi untuk mengikuti ekskul renang yang dibimbing oleh seorang guru dari sekolahku. Seperti biasa, aku akan menunggunya di sekolah. Baru kemudian pulang ke rumah sore harinya.
Sebelum pergi, ia sempat pamit sambal berkata, “Ummi, Ihsan pergi dulu ya. Ihsan mau puas-puasin berenangnya.”
“Iya nak, baik-baik di sana ya..” Ujarku tanpa ada firasat apapun. Dan berangkatlah rombongan mereka ke kolam renang langganan sekolah.
Selepas ashar, tetiba aku diminta ke kantor. Ada kabar kalua Ihsan mengalami kecelakaan di kolam renang. Dengan diantar rekanku aku pun bergegas menuju ke sana. Berharap dan berdoa agar Ihsan terhindar dari hal-hal yang buruk.
Namun untuk yang kesekian kalinya, aku pun harus bisa menerima kenyataan bahwa orang-orang yang aku cintai harus pergi meninggalkanku sendiri. Tak kusangka, pamitnya Ihsan tadi adalah pamitan terakhirnya. Aku harus bisa seperti pohon dan karang di lautan, karena langit tak selalu cerah.
Yah, kusadari benar, bahwa anak-anak baik itu pun pada akhirnya bukanlah milikku. Mereka harus kembali memenuhi panggilan Ilahi. Untuk kembali berkumpul dengan kedua orang tuanya masing-masing di surga yang abadi. Kembali kepada Penciptanya, Allah Rabbul Izzati.
#OdopBatch7
#Tantangan1episode5
#Cerbung5
***
Lima tahun berlalu. Ku jalani hari-hari dengan warna-warni pelangi yang mengiringi. Indah sungguh karunia Ilahi untuk keluarga kecil kami ini. Hingga suatu ketika, hari sudah menjelang siang saat kuterima sebuah panggilan di gawaiku yang berasal dari nomor kantor suamiku.
Mas Andi mendapat musibah. Kecelakaan kerja saat melaksanakan tugas telah merenggut nyawanya. Ia terjatuh saat memasang alat pemancar di sebuah tower setinggi lima puluh meter. Alat pengamannya ternyata tidak terpasang dengan baik. Innalillahi wainna’ilaihi rojiun. Ya Allah.. Semuanya kan kembali kepada-Mu. Aku terduduk lemas. Ku kumpulkan semua dayaku. Ku hanya bisa pasrah.
Seusai mendapatkan kabar itu, aku pun langsung bergegas menuju rumah sakit. Di sepanjang perjalanan, kurasakan teriknya panas mentari. Namun hal itu tak mampu menghangatkan perasaanku. Sedih yang kurasa tak bisa kubendung. Membuat sel-sel dalam tubuhku terasa membeku. Hingga kelu lidahku, lemah persendianku. Namun aku harus kuat. Masih ada Salma dan Ihsan yang membutuhkanku.
***
Setahun berlalu setelah kepergian suamiku. Sejak saat itu, ku hanya mengandalkan uang gaji hasil mengajarku yang tidak seberapa. Beruntung yayasan tempatku mengajar menggratiskan biaya sekolah Salma dan Ihsanku. Di sana mereka bisa mengenyam pendidikan terbaik. Sebuah sekolah yang mengusung pendidikan yang berkomitmen untuk mencetak generasi yang tidak hanya mumpuni ilmu dunianya, namun juga dibekali dengan ilmu agama.
Salma dan Ihsan, dua anak angkatku ini, hanya mereka sekarang yang menjadi pelipur laraku. Aku senantiasa mendidik mereka dengan segala upayaku, berharap kelak menjadi anak yang bisa menjadi pemberat timbangan amalku. Doa-doa dari mereka menciptakan butir-butir mutiara yang menghiasi kehidupanku.
Di sekolah, anak-anak ini merupakan anak yang berprestasi. Dikenal baik oleh guru-gurunya, yang merupakan teman-teman seprofesiku. Kami semua sangat dekat. Sudah seperti keluarga sendiri. Saling bantu dan support, sesuatu yang lumrah di antara kami. Bersyukur bisa bergabung di sini.
Sebenarnya, ada satu hal yang mengganjal dalam hatiku. Ku perhatikan, kondisi kesehatan Salma terus menurun. Salma yang senantiasa ceria berubah menjadi sosok pendiam. Fisiknya tampak kian hari kian lemah. Wajahnya pun tanpak pucat. Namus seperti tidak dirasakan olehnya. Ia tetap bersikeras untuk berangkat ke sekolah. Ia pernah bilang kalau mau jadi dokter, jadi harus giat belajarnya. Oh, Salma, semoga bisa terkabul cita-cita muliamu ya nak, ujarku saat itu.
***
Setelah menyediakan segala sesuatunya di rumah, pagi itu aku bersiap berangkat tanpa Salma dan Ihsan. Beberapa hari ke depan mereka libur dikarenakan kakak kelas enam akan melaksanakan ujian praktek di sekolah. Sebelum pergi, aku berpesan agar Salma dan Ihsan baik-baik berada di rumah. Tidak lupa, ku titipkan mereka pada seorang tetanggaku yang sudah ku kenal baik, yang tinggal persis di samping rumahku.
Belum jauh ku melangkah, Ihsan tiba-tiba berteriak padaku,
“Ummi.. Kak Salma..!” Setengah berlari ia menyusulku.
“Kenapa kak Salma, Ihsan?” tanpa menunggu jawabannya, aku langsung bergegas masuk kembali ke dalam rumah.
Ku lihat Salma jatuh pingsan dekat meja makan. Wajahnya pucat pasi. Langsung saja ku minta pertolongan tetanggaku. Dengan menggunakan kendaraan pribadinya, Salma dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dengan sigap, petugas melakukan beberapa tindakan. Namun apa daya, semua atas kuasa Allah SWT. Saat itu juga Salma menghembuskan napas terakhirnya. Sekali lagi aku harus ikhlas. Allah lebih sayang pada Salma. Meskipun kami semua merasa kehilangan. Terutama Ihsan.
***
Sejak itu, aku menjadi lebih ‘parno’. Sangat protek terhadap Ihsan, khawatir Ihsan mengalami hal serupa. Karena kondisi Ihsan sebenarnya tidak jauh berbeda. Sejak awal perjumpaan dengan mereka, aku memang kurang paham pada kondisi kesehatannya. Apalagi, di kehidupan sebelumnya, Salam dan Ihsan hidup di jalanan, banyak mengalami kekerasan fisik yang pada akhirnya mengakibatkan pada kesehatan pada masa-masa berikutnya.
Dan benar saja, tepat sebulan yang lalu, saat menonton televisi, tiba-tiba Ihsan kejang-kejang. Hasil diagnosis dokter adalah, Ihsan positif epilepsi. Hal ini disebabkan karena cidera otak akibat terjatuh saat kecilnya dulu. Dan efeknya baru dirasakan beberapa bulan belakangan ini. Oleh karenanya, Ihsan harus rutin menjalani perawatan dokter.
Ihsan yang baru kelas satu sekolah dasar, nampak sehat-sehat saja. Pembawaannya yang selalu ceria tidak menunjukkan kelainan pada sistem metabolisme tubuhnya. Ia sangat menikmati masa-masa sekolahnya. Kesupelannya membuat temannya banyak. Bahkan kakak-kakak kelas di sekolahnya begitu mengenal Ihsan.
***
Hingga tibalah sebuah peristiwa yang menimpa Ihsan. Seperti biasa, aku hadir di sekolah bersama Ihsan pagi-pagi sekali. Menjalani hari seperti biasanya. Belajar dan bermain bersama teman-teman dan ibu gurunya. Hari ini, sepulang sekolah adalah jadwal ekskul Ihsan berenang. Dan saat ekskul adalah saat yang paling dinantikan. Ia suka sekali berenang. Padahal sebenarnya, kondisi kesehatannya tidak mendukung. Namun ku pikir, selama ini ia baik-baik saja. Jadi akhirnya ku biarkan Ihsan tetap pada pilihannya untuk mengikuti kegiatan ekskul renang di sekolah.
Siang itu kulepas ia pergi untuk mengikuti ekskul renang yang dibimbing oleh seorang guru dari sekolahku. Seperti biasa, aku akan menunggunya di sekolah. Baru kemudian pulang ke rumah sore harinya.
Sebelum pergi, ia sempat pamit sambal berkata, “Ummi, Ihsan pergi dulu ya. Ihsan mau puas-puasin berenangnya.”
“Iya nak, baik-baik di sana ya..” Ujarku tanpa ada firasat apapun. Dan berangkatlah rombongan mereka ke kolam renang langganan sekolah.
Selepas ashar, tetiba aku diminta ke kantor. Ada kabar kalua Ihsan mengalami kecelakaan di kolam renang. Dengan diantar rekanku aku pun bergegas menuju ke sana. Berharap dan berdoa agar Ihsan terhindar dari hal-hal yang buruk.
Namun untuk yang kesekian kalinya, aku pun harus bisa menerima kenyataan bahwa orang-orang yang aku cintai harus pergi meninggalkanku sendiri. Tak kusangka, pamitnya Ihsan tadi adalah pamitan terakhirnya. Aku harus bisa seperti pohon dan karang di lautan, karena langit tak selalu cerah.
Yah, kusadari benar, bahwa anak-anak baik itu pun pada akhirnya bukanlah milikku. Mereka harus kembali memenuhi panggilan Ilahi. Untuk kembali berkumpul dengan kedua orang tuanya masing-masing di surga yang abadi. Kembali kepada Penciptanya, Allah Rabbul Izzati.
#OdopBatch7
#Tantangan1episode5
#Cerbung5
Ya Allah T_T semua ialah milik-Nya dan akan kembali pada-Nya.
BalasHapusTerima kasih untuk cerbung penuh hikmahnya Cikgu. Teruslah menulis hal-hal bermanfaat tiap harinya.