Aku mengenalnya sebagai laki-laki yang baik. Ia adalah teman dekat dari almarhum suamiku, bang Sarba. Mereka sama-sama dari Banten, dan sudah bersahabat sejak mereka masih kecil. Aku tau banyak tentangnya dari cerita bang Sarba.
Berpuluh-puluh tahun yang lalu, ia sudah menjadi anak yatim piatu, tiada ayah, tiada ibu. Sejak orang tuanya meninggal dunia, ia tinggal dan dibesarkan oleh pamannya di daerah Grogol Depok. Almarhum ayahnya berasal dari daerah Banten, dan ibunya asli dari desa Jampang. Dulu, sewaktu umurnya baru sepekan, orangtuanya memberi nama Jampang. Karena sang ibu kekeh, ingin nama daerah asalnya itu melekat kuat pada diri si anak.
Menurut cerita bang Sarba, Jampang tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan ganteng, penampilannya macho. Membuatnya menjadi pemuda idaman para gadis remaja. Oleh sang paman, Jampang diperlakukan seperti anak sendiri. Ia dibekali ilmu agama. Oleh pamannya ia juga diminta berguru pada seorang ustadz. Selain itu, sang paman juga menginginkan Jampang belajar ilmu bela diri.
Pamannya pernah berkata, “Pang, lu musti punya ilmu kanuragan. Kepandaian silat lu bukan untuk sombong-sombongan, tapi untuk menegakkan kebenaran. Membela yang lemah. Karena tanpa kekuatan, semuanya akan sia-sia.”
”Aye siap mang!” jawab Jampang dengan penuh rasa hormat.
”Lu bersiap dah, ikut mamang ke Cianjur, nanti belajar silat di sana ame kenalan mamang.”
” Aye sih terserah mamang aja dah.” Sahut Jampang, pasrah.
Setelah itu, beberapa waktu kemudian, Jampang diantar pamannya ke Cianjur untuk belajar ilmu bela diri. Sejak itulah bang Sarba dan Jampang berpisah, menjalani kehidupan masing-masing. Sepeninggal Jampang, bang Sarba pindah ke Tambun. Lalu menikah dan menetap di sana. Namun begitu, mereka tetap bersahabat.
***
Di tempatnya belajar, Jampang sangat disayang oleh gurunya. Hal ini dikarenakan perilaku Jampang yang baik, santun, dan ringan tangan. Sehingga sang guru begitu terkesan. Dan dengan senang hati mengajarkan semua kemampuan yang dimiliki untuk diturunkan kepada Jampang.
Saat masa bergurunya telah selesai, Jampang bermaksud kembali ke Grogol Depok. Ketika berpamitan, sang guru berpesan agar ilmu yang telah ia dapatkan jangan digunakan untuk berbuat kejahatan, namun untuk membela kebenaran. Jampang mengangguk tanda setuju. Tidak lupa, sang guru menitipkan salamnya untuk paman Jampang.
Setelah melalui perjalanan yang panjang, Jampang tiba disambut bahagia oleh pamannya. Tak lama Jampang menetap di Grogol Depok bersama pamannya tersebut. Karena sudah merasa memiliki cukup bekal, baik bekal ilmu agama maupun ilmu bela diri, Jampang mengutarakan keinginannya untuk pergi dan merantau ke Betawi.
Saat berpamitan, tidak lupa paman berpesan, “Kalo emang lu pengen merantau, lu mesti bawa diri, biar orang laen seneng ame lu.”
“Aye mang.” jawab Jampang dengan takzim.
Berangkatlah Jampang ke Betawi. Ia memulai kehidupannya dengan mandiri. Di Betawi, Jampang menuju rumah salah seorang teman dari pamannya di Kebayoran Lama. la diterima menetap dirumah tersebut. Selain membantu tuan rumah, Jampang juga berdagang buah di pasar Tanah Abang.
Saat itu, wilayah Indonesia berada dalam jajahan kompeni Belanda. Termasuk daerah Kebayoran Lama tempat Jampang menetap. Wilayah tersebut ada di bawah kekuasaan tuan tanah dengan centeng-centengnya yang galak dan bengis. Mereka setiap bulannya datang menagih pajak dan upeti kepada masyarakat setempat.
Jika rakyat tersebut tidak punya uang untuk membayar pajak, para centeng itu tidak segan-segan merampas dan mengambil dengan paksa benda apapun yang dimilikinya. Bahkan bisa lebih buruk lagi keadaannya, para centeng akan menyiksa orang yang tidak bisa membayar pajak dan upetinya. Melihat perlakuan centeng-centeng yang keji dan tidak berperikemanusiaan, Jampang bertekad akan membalasnya.
Hari berlalu. Tibalah saatnya Jampang berumah tangga. Ia menikahi seorang gadis setempat dan kemudian pindah dan menetap di Grogol Depok. Suka dan duka ia jalani bersama dengan istri tercintanya. Mereka hidup tenteram dan bahagia.
Tidak berapa lama, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan, Jampang Muda ia diberi nama. Jampang sangat gembira. Ia begitu sayang pada anaknya ini. Namun, belumlah sang anak beranjak remaja, istri Jampang meninggal dunia. Mendapat kenyataan bahwa istrinya telah pergi, Jampang sangat sedih. Ditatapnya mata anaknya yang kini tiada beribu lagi.
Bersambung…
Berpuluh-puluh tahun yang lalu, ia sudah menjadi anak yatim piatu, tiada ayah, tiada ibu. Sejak orang tuanya meninggal dunia, ia tinggal dan dibesarkan oleh pamannya di daerah Grogol Depok. Almarhum ayahnya berasal dari daerah Banten, dan ibunya asli dari desa Jampang. Dulu, sewaktu umurnya baru sepekan, orangtuanya memberi nama Jampang. Karena sang ibu kekeh, ingin nama daerah asalnya itu melekat kuat pada diri si anak.
Menurut cerita bang Sarba, Jampang tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan ganteng, penampilannya macho. Membuatnya menjadi pemuda idaman para gadis remaja. Oleh sang paman, Jampang diperlakukan seperti anak sendiri. Ia dibekali ilmu agama. Oleh pamannya ia juga diminta berguru pada seorang ustadz. Selain itu, sang paman juga menginginkan Jampang belajar ilmu bela diri.
Pamannya pernah berkata, “Pang, lu musti punya ilmu kanuragan. Kepandaian silat lu bukan untuk sombong-sombongan, tapi untuk menegakkan kebenaran. Membela yang lemah. Karena tanpa kekuatan, semuanya akan sia-sia.”
”Aye siap mang!” jawab Jampang dengan penuh rasa hormat.
”Lu bersiap dah, ikut mamang ke Cianjur, nanti belajar silat di sana ame kenalan mamang.”
” Aye sih terserah mamang aja dah.” Sahut Jampang, pasrah.
Setelah itu, beberapa waktu kemudian, Jampang diantar pamannya ke Cianjur untuk belajar ilmu bela diri. Sejak itulah bang Sarba dan Jampang berpisah, menjalani kehidupan masing-masing. Sepeninggal Jampang, bang Sarba pindah ke Tambun. Lalu menikah dan menetap di sana. Namun begitu, mereka tetap bersahabat.
***
Di tempatnya belajar, Jampang sangat disayang oleh gurunya. Hal ini dikarenakan perilaku Jampang yang baik, santun, dan ringan tangan. Sehingga sang guru begitu terkesan. Dan dengan senang hati mengajarkan semua kemampuan yang dimiliki untuk diturunkan kepada Jampang.
Saat masa bergurunya telah selesai, Jampang bermaksud kembali ke Grogol Depok. Ketika berpamitan, sang guru berpesan agar ilmu yang telah ia dapatkan jangan digunakan untuk berbuat kejahatan, namun untuk membela kebenaran. Jampang mengangguk tanda setuju. Tidak lupa, sang guru menitipkan salamnya untuk paman Jampang.
Setelah melalui perjalanan yang panjang, Jampang tiba disambut bahagia oleh pamannya. Tak lama Jampang menetap di Grogol Depok bersama pamannya tersebut. Karena sudah merasa memiliki cukup bekal, baik bekal ilmu agama maupun ilmu bela diri, Jampang mengutarakan keinginannya untuk pergi dan merantau ke Betawi.
Saat berpamitan, tidak lupa paman berpesan, “Kalo emang lu pengen merantau, lu mesti bawa diri, biar orang laen seneng ame lu.”
“Aye mang.” jawab Jampang dengan takzim.
Berangkatlah Jampang ke Betawi. Ia memulai kehidupannya dengan mandiri. Di Betawi, Jampang menuju rumah salah seorang teman dari pamannya di Kebayoran Lama. la diterima menetap dirumah tersebut. Selain membantu tuan rumah, Jampang juga berdagang buah di pasar Tanah Abang.
Saat itu, wilayah Indonesia berada dalam jajahan kompeni Belanda. Termasuk daerah Kebayoran Lama tempat Jampang menetap. Wilayah tersebut ada di bawah kekuasaan tuan tanah dengan centeng-centengnya yang galak dan bengis. Mereka setiap bulannya datang menagih pajak dan upeti kepada masyarakat setempat.
Jika rakyat tersebut tidak punya uang untuk membayar pajak, para centeng itu tidak segan-segan merampas dan mengambil dengan paksa benda apapun yang dimilikinya. Bahkan bisa lebih buruk lagi keadaannya, para centeng akan menyiksa orang yang tidak bisa membayar pajak dan upetinya. Melihat perlakuan centeng-centeng yang keji dan tidak berperikemanusiaan, Jampang bertekad akan membalasnya.
Hari berlalu. Tibalah saatnya Jampang berumah tangga. Ia menikahi seorang gadis setempat dan kemudian pindah dan menetap di Grogol Depok. Suka dan duka ia jalani bersama dengan istri tercintanya. Mereka hidup tenteram dan bahagia.
Tidak berapa lama, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan, Jampang Muda ia diberi nama. Jampang sangat gembira. Ia begitu sayang pada anaknya ini. Namun, belumlah sang anak beranjak remaja, istri Jampang meninggal dunia. Mendapat kenyataan bahwa istrinya telah pergi, Jampang sangat sedih. Ditatapnya mata anaknya yang kini tiada beribu lagi.
Bersambung…
Wuah ... sad ending-kah? Dinanti kelanjutannya.
BalasHapusHihi.. Pengennya happy ending kak.. Takut terlalu melenceng dan jd aneh..😅
Hapus