Si Jampang Jagoan Betawi (Bagian 2)

Tetiba, sosok itu telah berada di hadapanku. Jampang jagoan Betawi itu kini tengah berdiri gagah di depan mataku. Gurat-gurat wajah letihnya tergambar jelas. Kulitnya yang gelap tak mampu menutupi otot-otot keperkasaan tubuhnya. Sesaat aku terpana. Rasanya jadi salah tingkah. Namun sejurus kemudian, untuk menutupi canggungku, aku persilakan ia duduk di bale-bale teras rumahku. Sementara aku masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan sekedar minuman hangat dan hidangan kue untuknya. Ciput pembantuku menemaninya mengobrol di luar.

Saat menyuguhkan teh buatanku, ia bertanya,“Mayang, ape bener bang Sarba ude ga ada? Barusan Ciput bilang ke aye.” Perlahan ku anggukkan kepalaku, “Iye, Pang, Bang Sarba tempo hari sakit keras. Nyawanye ga bise ketolong lagi.”

“Ya Allah, kesian bang Sarba. Maapin aye ye Mayang, aye baru tau kabarnye.” Kulihat wajah Jampang tampak sedih. Ia pun lalu menceritakan kisah perjalanannya hingga tiba ke rumahku ini.

Rupanya, sepeninggal istrinya beberapa waktu lalu, Ia memutuskan untuk pergi lagi ke Betawi. Sang anak ia titipkan kepada ibu mertuanya. Biarlah sang nenek yang merawat dan mendidiknya. Itu lebih baik, begitu pikirnya. Akhirnya, pergilah Jampang ke Betawi.

***

Sebagai wilayah jajahan, kehidupan masyarakat sangat memprihatinkan. Semuanya hidup dalam kesusahan. Penuh tekanan dan ketakutan, sungguh mencekam. Selalu ada saja penduduk yang disiksa karena tidak sanggup membayar upeti. Pajak yang tinggi membuat kehidupan masyarakat kian terpuruk. Kesengsaraan sudah menjadi santapan lumrah sehari-harinya. Kemiskinan yang melanda di setiap sudut kampung, membuat rakyat semakin menderita hidupnya.

Jampang yang melihat kondisi tersebut tidak dapat tinggal diam. Semakin lama semakin tidak dapat dibiarkan. Penjajah ini harus dilawan, begitu pikir Jampang. Namun, apa yang harus dilakukannya? Ia tidak boleh gegabah, karena kekuatan lawannya sungguh tidak dapat dipandang sebelah mata.

Dengan prajurit yang selalu siap sedia, jumlah yang banyak serta persenjataan yang lengkap seperti pupus harapan dari masyarakat untuk dapat melawan. Tiada daya mereka menghadapi itu semua.
Namun paling tidak, ada sedikit usaha yang bisa dilakukan. Dalam hati Jampang, muncul perasaan yang begitu kuat. Rasa ingin membantu dan meringankan beban masyarakat yang kesusahan saat itu. Dalam setiap langkahnya, ia berpikir keras. Akhirnya, berbekal ilmu silat yang sudah dipelajarinya ia bertekad berjuang dengan caranya sendiri.

Hmm, biarlah nyawa aye jadi taruhannye.” Jampang membatin dalam hati.

***

Sampai di situ Jampang bercerita, Aku mempersilakannya meminum teh yang telah dihidangkan. Ia langsung menyeruputnya, “Ah, enak bener ini teh, seger!” Sambil menikmati kue ia menanyakan keberadaan anakku Abdih,

“Ngomong-ngomong, anak lo kemane Mayang?”

“Oh, Si Abdih lagi belajar di Bandung.”

“Bagus dah, biar pinter ntu anak, ntar kalo dah pinter, bikin dah negare kite ni maju! Biar ga dijajah terus ame kompeni.” Katanya bersemangat. Lalu ia melanjutkan ceritanya.

***

Untuk menjalankan idenya itu, sehabis menjalankan ibadah shalat maghrib, Jampang bersiap. Sejak siang tadi ia sudah memata-matai salah satu rumah kompeni yang kaya raya. Nampak para centeng hilir mudik melakukan penjagaan.  Menurut informasi, malam itu ada pertunjukan gambang kromong di desa sebelah, biasanya tuan tanah dan para centengnya akan pergi kesana untuk menonton. Kesempatan ini tidak dilewatkan oleh Jampang.

Malam itu, sehabis shalat isya, Jampang menyelinap di balik rimbunnya pepohonan yang tumbuh di sekitar rumah besar incarannya. Dengan sigap, jampang masuk dengan mengendap-endap tanpa diketahui seorang penjaga pun.

Berkat latihan yang pernah dijalani, serta ilmu yang diperolehnya dari gurunya, membuat Jampang mudah melumpuhkan si empunya rumah serta langsung menggasak seluruh harta kekayaan mereka dan membawanya pergi.

Tujuannya hanya satu, harta benda yang sudah diperolehnya dari hasil merampok di rumah tuan tanah tadi, ia bagikan ke setiap rumah penduduk miskin yang dilaluinya hingga harta dan uang itu habis tak tersisa. Ia berharap, usahanya tersebut bisa membantu meringankan beban hidup masyarakat yang kesusahan.

Sesampainya di rumah, adzan subuh berkumandang. Jampang segera mengambil air wudhu, melaksanakan shalat subuh. Dalam doanya ia memohon ampun kepada Allah atas tindakan yang terpaksa dilakukannya. Ia juga memohon perlindungan dan keselamatan untuk dirinya  dalam menjalankan setiap aksi-aksinya. Tidak lama kemudian. Jampang pun tertidur lelap.

Setelah peristiwa tersebut, tuan tanah-tuan tanah semakin bengis dalam menagih upeti. Tidak peduli kesusahan yang diderita masyarakat. Banyak dari mereka yang kelaparan karena sudah tidak punya persediaan makanan lagi, semuanya ludes diambil paksa oleh para centeng dan tuan tanah. Upeti dan berbagai macam pajak semakin mencekik dan menjerat rakyat.

Menyaksikan itu semua, Jampang semakin bertekad bulat untuk terus melakukan aksinya. Setiap malam secara bergantian, ia ke rumah tuan tanah, rumah para centeng dan rumah orang kaya. Jampang juga berpindah tempat operasi merampoknya antara Grogol, Pasar Ikan, Tanjung Priok dan Tambun Bekasi. Hal ini ia lakukan agar bisa menghindari kejaran para centeng yang semakin hari semakin meningkatkan kewaspadaannya.

Selain melakukan aksi perampasan malam hari, Jampang juga sering menghadang centeng-centeng yang menagih pajak atas penduduk. Karena aksinya itu, namanya menjadi terkenal. Ia senantiasa dihormati dan dielu-elukan oleh masyarakat karena dianggap sebagai pahlawan penolong dalam hidup mereka. Sementara, ia sangat dibenci dan paling diburu oleh para centeng, tuan tanah, demang dan kompeni Belanda.

Hingga, penguasa penjajah yang terdiri dari tuan-tuan tanah danpara centengnya mengerahkan polisi untuk mengintai si Jampang. Tetapi karena ia selalu berpindah-pindah tempat, sulit bagi polisi Belanda menangkapnya, sementara jagoan centeng para tuan tanah tidak mampu membunuh Jampang dalam setiap perkelahian. Atas keberhasilan Jampang atas aksi-aksinya tersebut, ia digelari penduduk sebagai Si Jampang Jagoan dari Betawi.

***

Seiring suara adzan dzuhur berkumandang, Jampang mengakhiri kisah perjalanan hidupnya selama ini. Sebenarnya, aku juga sudah mendengar kisah heroiknya tersebut dari Ciput pembantuku dan dari penduduk kampung sebelah. Berita itu begitu cepat menyebar. Sayang sekali suamiku, yang juga sahabatnya sudah pergi memenuhi panggilan Ilahi, jika tidak, mungkin bang Sarba akan ikut membantu dalam aksi-aksinya itu.

Tapi jujur, ada rasa kurang sreg atas tindakannya. Karena menurutku, apa yang dilakukan Jampang, walaupun niatnya baik, tapi cara yang dilakukan melanggar hukum, baik hukum pidana terlebih hukum agama.

***

Terakhir, Jampang menceritakan anak semata wayangnya yang sudah beranjak remaja, Jampang Muda kini usianya mencapai lima belas tahun. Selama tinggal bersama neneknya, ia tumbuh menjadi remaja yang alim, berbudi dan berakhlak baik. Persis seperti ayahnya. Jampang juga menyampaikan kepada anaknya agar belajar mengaji pada seorang ustadz. Karena ia ingin sekali anaknya kelak menjadi orang shaleh. Jampang muda pun setuju.

Setelah mangantar anaknya ke pesantren, barulah Jampang bermaksud mengunjungi sahabatnya Sarba yang tinggal di kampung lain. Sudah lama sekali tidak bertemu, bagaimana kabarnya sekarang? Jampang tidak sabar ingin segera menemuinya.

***

Ternyata, seperti yang sudah diceritakan di awal, Jampang harus menghadapi kenyataan bahwa sahabatnya, Sarba telah meninggal dunia. Meninggalkan seorang istri shalehah yang masih nampak cantik dan menarik. Dalam hati, Jampang menaruh hati padanya. Apalagi kondisinya memungkinkan, Jampang duda dan Mayangsari janda.

***

Kalau boleh jujur, setelah aku mendengar kisah dari perjalanan hidup Jampang secara langsung, aku sebenarnya kagum sekaligus iba. Setelah ditinggal istrinya, ia melanglang buana hingga memutuskan untuk merampok dan merampas harta orang kaya untuk dibagikan kepada mereka yang kesusahan dan membutuhkan pertolongan.

Walau sekarang ia dikenal sebagai jagoan, namun aku yakin hidupnya tidak tenang. Karena selain dikejar-kejar rasa bersalah, ia juga senantiasa dalam buruan centeng-centeng tuan tanah dan kompeni. Hidupnya jadi susah, karena agar ia selamat, ia harus selalu berpindah-pindah. Sungguh tidak mengenakkan hidupnya, karena senantiasa dalam pelarian.

***

Aye pengen brenti aje Mayang.” Perkataan Jampang selanjutnya membuyarkan lamunanku.

Ape? Maksudnye pegimane?

“Iye bang, maksudnye brenti pegimane?” Mendengar pernyataan Jampang, Ciput ikut bertanya.

Iye, aye dah ga mau lagi ngerampok harta orang lain. Aye mo pensiun, mo insyaf!”

Lah, beneran bang?” tanya Ciput lagi.

“Iye Put, aye sekarang dah sadar, kalo perbuatan aye ntu ga bener, walaupun tujuannya sih, sebenernye bae ye.” Kata Jampang kalem.

Cuman, pegimane ni cara ngelawan penjajah kompeni nyang makin hari mangkinan aje kelakuannye!” Jampang kelihatan gusar.

“Alhamdulillah deh kalo Jampang mo insyaf mah, aye dukung banget!

 “Perkara kompeni, kite kudu rembukan dulu ame pak ustadz juge tokoh-tokoh nyang laen, gimane Pang?” Aku sedikit kasih saran.

Yah, pegimane baenye aje dah.

Ye ude, abis eni, kite ke rumah pak ustadz ye!” Kata Ciput kasih saran.

“Oke deh!” kataku setuju.“Alhamdulillah, jadi udah clear ye urusannye.” Lanjutku.

Et, bentar-bentar! Sebenarnye, aye ade satu masalah lagi nih!” Jampang nampak kikuk.
Aku dan Ciput bengong, menunggu kelanjutan perkataan Jampang.

Aye mo ngelamar Mayangsari buat jadi bini aye.” Katanya pelan. Seperti tidak yakin dan takut, apakah lamarannya ini akan diterima atau ditolak, ia lalu bertanya,

”Mau ga Mayang?”

Semua terdiam. Termasuk Ciput. Lalu kemudian, buru-buru Jampang berkata lagi,”Tapi kalo Mayang ga mau, ga ape-ape sih.” Wajahnya tampak datar.

“Boleh ga, aye jawabnye besok pagi. Aye mau shalat istikharah dulu ye Pang.” Aku berkata sambil minta persetujuan Ciput dan Jampang yang bergantian menatapku.

Jujur, sebenarnya bisa saja saat itu aku langsung menjawab mau. Karena pada dasarnya, sejak pertama bertemu tadi, aku sudah terlanjur suka, aku jatuh hati pada kebaikannya. Tapi rasanya aku malu. Tapi, biar lebih mantap, aku akan memohon petunjuk dari Allah. Apakah Jampang ini jodoh yang baik untukku atau tidak.

Iye dah, baenye emang begitu, minta petunjuk dulu ame nyang di atas, ame Allah. Insyaalloh besok pagi aye balik lagi ye. Sekalian deh aye pamit nih.” 

Iye bang. Bae-bae ye di jalan.” Kata Ciput sambil mengantar ke depan pagar.

Iye Put, makasih ye.” Sambil berjalan, Jampang menengok ke arahku dan mengucap salam,”Assalamu’alaikum Mayang.”

“Wa’alaikumsalam.” Jawabku malu-malu. Aduh, hatiku jadi kok jadi berbunga-bunga gini ya?
Buru-buru aku masuk kamarku. Duduk di depan cermin sambil mematut-matut diri. Apakah aku masih pantas untuk menikah lagi? Aku bertanya dalam hati.

“Bang Sarba, aku rindu.” Tak terasa bulir air mata membasahi pipiku.

“Sekian lama kepergian abang, aku tidak pernah membuka hatiku untuk lelaki lain.”

“Namun ketika Jampang hadir tadi, mengapa aku merasa berada dekat denganmu bang Sarba? Apakah itu pertanda bahwa diriku boleh jatuh cinta lagi? Jatuh cinta pada Jampang, seorang jagoan dari Betawi yang tersohor itu?”

“Biarlah, aku akan membantunya untuk berubah. Mendampinginya untuk melanjutkan perjuangan dengan cara yang lain. Cara yang diridhai oleh Allah. Selayaknya perjuangan yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Islam pada masanya dulu.”

Aku memantapkan hati untuk menerima Jampang esok hari. Malam nanti aku akan shalat istikharah memohon petunjuk dari-Nya.“Ya Allah, bimbinglah aku yang lemah ini.” Ujarku lirih.

Ingin rasanya cepat-cepat hari berganti, karena artinya, aku akan ketemu lagi dengan Jampang besok pagi.

***

Dor Dor dor.

Terdengar bunyi tembakan di kejauhan. Mengagetkan seluruh penduduk kampung. Aku keluar menuju arah suara, disusul Ciput di belakangku. Perasaanku tidak enak. Dari kejauhan nampak orang-orang ramai berkerumun. Banyak diantaranya prajurit Belanda dan centeng tuan tanah. Rupanya Jampang sudah diikuti dan dimata-matai sejak kedatangannya di kampung ini.

“Ha, ha, ha, akhirnya orang ini mati juga, menyusahkan saja!” seorang yang berperawakan seperti centeng tertawa puas.

“Mampus kau Jampang! Mati kau sekarang!” seorang yang lain berteriak galak.

Tiba-tiba saja, semua menjadi gelap. Aku tak sadarkan diri. Aku merasa ada yang membawaku pergi. Rupanya Ciput meminta para nyai untuk membopong dan mengantarku pulang.

***

Hari sudah menjelang senja. Gundukan tanah merah itu menjadi saksi bisu. Satu per satu peziarah pergi meninggalkanku yang masih terpaku di depan nisan yang bertuliskan Jampang. Ya, Jagoan Betawi itu telah pergi. Membawa bunga-bunga cintaku yang baru saja hendak bermekaran, setelah sekian lama kuncup dan hampir layu.

Ya Allah, ini adalah takdir-Mu. Semua atas kuasa-Mu. Terimakasih, telah Engkau ijinkan Jampang untuk taubat sebelum ajalnya tiba. Namun begitu, rupanya Enggau pun telah menetapkan, bahwa Jampang bukanlah jodohku.  Kau ambil dia sebelum sempat ia menjadi suamiku.

#odop7
#tantanganpekan4
#ceritarakyatinitelahdiubahsesuaiimajinasipenulis

2 komentar untuk "Si Jampang Jagoan Betawi (Bagian 2)"

  1. Balasan
    1. Iya kak, tadinya pengen bikin happy ending gitu.. Tp ga jadi 😅

      Hapus