Sepiring Bubur Untuk Sang Tamu

Sepiring Bubur Untuk Sang Tamu
Sepiring Bubur Untuk Sang Tamu
Suatu hari, salah satu sahabat Nabi SAW kedatangan seorang tamu dari negeri yang jauh. Setelah tamu tersebut dipersilakan masuk, tuan rumah nampak resah. Kegundahan tak dapat disembunyikan dari rona wajahnya yang teduh. Kalau boleh memilih, ingin rasanya ia menolak kehadiran tamu tersebut. Bukan karena ingin pergi atau sedang sibuk. Hal ini disebabkan karena sahabat Nabi ini tidak memiliki sajian  untuk dihidangkan kepada tamunya.

Jangankan menyediakan hidangan untuk tamunya, untuk makan keluarga mereka saja tidak ada. Sudah sejak tiga hari lalu keluarga ini kelaparan. Di dapur rumah mereka tidak ada bahan makanan untuk dimasak. Satu-satunya makanan yang tersisa hanyalah semangkuk bubur encer yang akan diberikan kepada bayi kecilnya.

Saat di dapur, terjadilah perdebatan kecil antara sahabat tersebut dengan istri tercintanya. Sang istri mengatakan bahwa bayi mereka harus diperhatikan kesehatannya. Apalagi yang tersisa hanyalah semangkuk bubur encer. Kalaupun diberikan kepada sang tamu, bubur tersebut tidak akan dapat membuat kenyang tamunya.

Sementara, jika bubur tersebut diberikan kepada si bayi, hal itu akan sangat bermanfaat. Namun di sisi lain sang ayah berpendapat bahwa mengutamakan tamu itu lebih baik. Setelah mereka saling beradu argumen, akhirnya suami istri tersebut lebih memilih untuk memulikan tamu. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang artinya, “barangsiapa yang beriman kapada Allah SWT dan hari akhir, maka muliakanlah tamu.”

Walaupun suami istri itu sudah saling sepakat, namun mereka masih bingung. Bagaimanakah cara menghidangkan bubur tersebut kepada tamunya? Mereka merasa tidak enak hati karena bubur itu sudah sangat encer. Rasanya tidak pantas kalau dihidangkan. Sementara, hanya bubur itulah satu-satunya makanan yang tersisa yang dapat dihidangkan.

Jika bubur dihidangkan hanya dengan satu piring, maka akan terasa janggal. Karena hanya tamu yang akan makan, sementara tuan rumah tidak menemani makan. Kalaupun bubur itu dibagi menjadi dua piring, itu tak akan mungkin. Karena jumlahnya hanya sedikit.

Namun akhirnya sang suami mendapatkan ide. Ia akan mematikan lampu saat bubur tersebut dihidangkan. Maka setelah menemui tamu dan sedikit berbincang-bincang, sang suami mengeluarkan hidangan berupa sepiring bubur dan langsung mematikan lampu. Sehingga ruangan tampak remang-remang, redup tanpa cahaya penerang. Dan sambil mempersilahkan tamunya itu makan, ia pun berpura-pura seperti sedang makan juga. Suasana hening, hanya terdengar bunyi sendok beradu dengan piring.

Dalam keadaan penerangan yang terbatas, tamu tidak mengetahui jenis makanan yang dihidangkan untuknya. Dan karena sang tamu sangat lapar, makai a makan dengan lahap. Selain itu, ia juga merasa bahwa saat makan, ia ditemani sang tuan rumah yang juga ikut makan bersamanya. Lalu ia pun pulang dengan perasaan senang karena ia telah diperlakukan dengan hormat serta dijamu dengan baik oleh tuan rumahnya. Sampai terakhir, ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu.

Sungguh terpuji perilaku keluarga tersebut. Mereka telah mengorbankan satu-satunya bubur encer untuk bayinya demi menjamu sang tamu. Sebuah pengorbanan yang tiada tara demi memuliakan sang tamu. Di sinilah teruji kualitas keimanan mereka.

Mendengar kejadian itu, Rasulullah SAW memuji sikap sahabatnya tersebut. Bagaimana sikap seeorang dalam memuliakan tamunya, hal tersebut menunjukan kualitas keimanannya. Sesuai hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka muliakanlah tamu."

Posting Komentar untuk "Sepiring Bubur Untuk Sang Tamu"