Ketika Ihsan Datang Dan Pergi

Ketika Ihsan Datang Dan Pergi
Dadaku kian bergemuruh. Pintu masuk terdekat untuk kendaraan sedang di tutup. Untuk parkir,kami harus masuk lewat pintu kedua dan itu pun masih harus memutar. Jarak yang sebenarnya tidak jauh tersebut membuatku enggan berlama-lama duduk dibonceng motor temanku. Sementara, aku tidak mampu lagi menahan. Rasa ini semakin membuncah. Entah apa yang ada dalam benakku saat ini. Seakan-akan, tubuh ini mati rasa. Aku bisa apa? Ingin teriak, lidah ini terasa kelu. Ingin menangis, rasanya sudah tak mampu. Hanya bisa panjatkan doa-doa sepanjang perjalananku. Ya Allah, ingin sekali segera tiba di sana. Akhirnya, ketika kulihat pintu pejalan kaki dibiarkan terbuka, ku putuskan untuk turun dari motor teman kantorku itu. Dengan suara bergetar aku berkata, "Aku jalan aja Yat! Kelamaan kalau memutar! Tolong berhenti di sini aja!"

Sejurus kemudian, setengah berlari aku menuju komplek yang tertutup itu. Ku tinggalkan temanku dengan motornya. Sejurus kemudian, setengah berlari aku menuju komplek yang tertutup itu. Kutinggalkan temanku dengan motornya yang langsung melaju menuju pintu berikutnya. Dengan tergopoh, tibalah aku di depan pintu klinik. Di sana sudah menunggu Yani, rekan sekantorku. Wajah sendunya tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran dan kecemasan yang menderanya. Bergegas ia menuntunku masuk menemui dokter.  Sekilas ku lihat tubuh Hanif keponkanku terbaring di dipan yang dingin dan bisu.

“Ibunya?” dokter bertanya.
“Saya yang mengasuh dokter, orang tuanya sudah meninggal dunia.” Ujarku. “Bagaimana kondisi Ihsan Dok?”
“Saya sudah periksa, ibu yang ikhlas ya.. Anak ini sudah tenang sekarang.”
“Maksud dokter?”
“Kejadiannya cepat sekali, kami semua di sini sudah berusaha.”
“Ya Allah Ihsan..” aku sudah tidak lagi mendengar suara dokter. Tubuhku langsung menghambur ke arahnya terbaring. Kupeluk tubuhnya yang masih hangat, matanya rapat terpejam. Ingatanku langsung melayang saat lima tahun yang lalu, ketika Ihsan kutemukan sedang digendong seorang anak yang kukira kakaknya untuk meminta-minta di pinggir jalan. Aku ingat betul peristiwa saat itu.

***

Hujan deras memaksaku untuk meneduh di sebuah warung tenda. Udara dingin semakin membuat irama keroncong di perut ini terdengar merdu, sebagai penanda ia butuh untuk diisi. Belum habis makananku, muncul sosok anak kecil 6 tahunan menggendong seorang balita berusia sekitar 2 tahun. Tubuhnya yang kecil terlihat kuyup, kerudung kecilnya basah oleh air hujan. Dari matanya terlihat kepolosan. Anak itu menadahkan tangannya padaku, meminta belas kasih. Pemandangan yang begitu memilukan ada di hadapanku saat itu. Langsung saja kuminta mereka masuk dan segera kupesankan makanan dan minuman hangat. Singkat cerita, setelah banyak tanya, aku tau bahwa anak itu yatim piatu, namanya Salma. Anak yang digendongnya bernama Ihsan. Tadinya aku berpikir bahwa Ihsan itu adalah adiknya. Namun dugaanku ternyata salah. Salma hanya disuruh meminta-minta di jalanan sambil menggendong Ihsan. Yang menyuruhnya bernama tante Rosa. Oh, i see! Ditambah cerita Salma bahwa ia seringkali mendapat siksaan jika tidak pulang membawa banyak uang. Duh Gusti, kasihan sekali mereka.

Tanpa berpikir panjang, ku bawa mereka ke rumah. Dalam benakku, Allah mungkin mengirimkan anak-anak ini sebagai jawaban atas doa dan penantian panjangku selama 15 tahun yang begitu mengharapkan kehadiran buah hati. Aku ingin sekali mengasuh mereka, Ya Rabb. Setelah ijin dengan suamiku, dan menjalani proses yang tidak mudah, akhirnya mereka resmi dalam pengasuhanku.

Namun rupanya, aku hanya ditakdirkan mengurus Salma selama dua tahun saja. Salma dipercepat Allah untuk berkumpul kembali dengan kedua orangtuanya. Kondisi ginjalnya semakin lama semakin parah hingga tidak dapat diselamatkan lagi nyawanya. Sejak itu, aku jadi lebih sayang lagi kepada Ihsan. Ku jaga Ihsan sedemikian rupa. Kurawat dengan sepenuh cinta. Aku begitu takut kehilangan Ihsan, yang sudah beberapa tahun ini menemani sepinya hari-hariku dan menceriakan serta memberi warna dalam hidupku yang selama ini sepi membeku. Setelah beberapa waktu lalu aku kehilangan suami dalam sebuah kecelakaan kerja.

***

“Silakan ibu membawa anak ini pulang.” Ucapan dokter membuyarkan lamunanku. Sedihku semakin bertambah, hingga air mata ini, tak sanggup aku membendungnya. Dengan lirih aku pun menjawab, “Baiklah dok.” Langsung saja, segala sesuatunya disiapkan. Beberapa teman yang baru tiba turut membantu proses pemulangan Ihsan. Ambulan untuk membawa Ihsan tidak lama tiba. Di dalam mobil menuju rumah, aku merasa udara sore itu begitu dingin. Kudekap jasad Ihsan. Sebelumnya, anak angkatku ini begitu menghiburku, menjadi penyemangat dalam hidupku. Kini sepeninggalnya, aku merasa separuh hidupku dibawanya pergi. Tidak ada asa lagi tersisa.

***

Aku menyesal, kenapa penyakit epilepsi yang diderita Ihsan begitu terlambat untuk diketahui. Sepertinya, penyakit tersebut mulai dideritanya saat masih tinggal bersama tante Rosa. Ia mengalami kekerasan fisik dan mental yang membuatnya mengalami cidera otak. Dan itu baru diketahui beberapa bulan belakangan ini. Saat itu aku sangat panik, ketika di ruang tamu sedang menonton televisi, tiba-tiba Ihsan kejang. Itulah awal mula terjadinya mimpi buruk ini. Sejak saat itu Ihsan harus terapi dan minum obat. Ia tidak boleh lelah. Segala sesuatunya harus selalu dalam pengawasan. Yang aku sesali sebenarnya adalah, saat diakhir usia Ihsan, aku tidak berada di sampingnya, mendampinginya.

Dari cerita guru pendampingnya saat kejadian, di tepi kolam renang, seorang teman Ihsan melaporkan bahwa Ihsan tiba-tiba kejang dan terjatuh di kolam yang dalam hingga tubuhnya tenggelam ke dasar kolam. Teman Ihsan berteriak memanggil Pak Ikram, guru pendamping Ihsan. Secepat kilat Pak Ikram masuk ke air dan menarik tubuh Ihsan. Dibantu beberapa life guard di sekitar kolam renang, Ihsan dibaringkan di tepi kolam, diberi tindakan bantuan pernapasan dan tindakan medis lainnya, Ihsan tetap bergeming. Langsung saja ia dilarikan ke klinik di komplek tersebut.

***

Hujan gerimis mengiringi pemakaman Ihsan. Satu per satu tamu yang hadir kembali pulang. Yang tertinggal hanyalah kesepian yang menderaku. Ku ambil al qur’an, lalu kubaca perlahan sebagai pengobat laraku ini. Setiap jiwa akan merasakan mati. Hanya kepada Allahlah kita kan kembali. Tinggal menunggu giliran kita nanti. Maka bersiaplah, jangan lengah.

#Cerpen
#OdopBatch7
#Opening Cerbung,
#Tantangan Pekan 7

4 komentar untuk "Ketika Ihsan Datang Dan Pergi"