Menanti Taubatmu

Menanti Taubatmu
Malam itu sudah sangat larut. Derai hujan menyisakan udara dingin yang menusuk, memaksa masuk lewat jeruji jendela rumahku. Di luar suasana sangat sepi. Masing-masing orang sudah terbuai oleh mimpi. Esok kan kembali lagi, menawarkan secawan harapan. Dan asa pun menyuguhkan semangat tak terperi.

Seperti biasa, suamiku pulang dalam keadaan teler. Saat didapatinya aku bersama Salma dan Ihsan, ia tambah berang. Pengaruh alkohol membuatnya hilang kesadaran. Tubuhnya lunglai tergerus kemarahan yang bercampur minuman jahanam yang membuatnya mabuk kepayang. Mungkin menurutnya, hanya itulah satu-satunya cara agar semua masalah lari dari dirinya.

Sementara Salma dan Ihsan aku ungsikan ke kamar tengah, aku membopong mas Andi  masuk ke peraduan. Sesaat sebelumnya ku bersihkan wajah yang penuh gurat-gurat kelelahan, kesedihan, kekecewaan. Semuanya membuncah, membuat lukisan wajah yang ronanya tersirat semburat luka. Kubiarkan ia istirahat dengan tenang. Ya Rabb, tolonglah. Berilah hidayah-Mu. Ijinkan ia bertaubat. Ku belai lembut keningnya, Mas Andi, aku menanti taubatmu.

***

Bersahutan terdengar olehku muadzin mengumandangkan adzan subuh dengan mendayu. Seolah merayu insan-insan yang ragu, antara rindu menjemput hidayah-Nya, atau bersungut lalu tarik selimut. Ku lihat mas Andi sudah menggelar sajadahnya, tubuhnya terlihat segar, aroma lembut sampo dan sabun mandi tercium dari tempatnya berdiri. Bergegas  ku bersuci. Mengekor bermakmum di belakangnya.

“Assalamu’alaikum warahmatullah..”
“Assalamu’alaikum warahmatullah..”
Salat subuh pun berakhir. Mas Andi menggeser posisi duduknya. Setengah badannya menghadap ke arahku. Dzikir dan doa dilantunkan, melalui lisan dan tengadah kedua tangannya, ia memohon. Entahlah. Aku tidak ingin menerka-nerka. Tidak lama, kucium punggung tangannya yang hangat.
Aku bersegera ke dapur, melewati pintu kamar tengah, ku lirik ke dalam. Tidak ada Salma di sana. Hanya Ihsan yang masih pulas. Belum sampai masuk dapur, Salma nongol di depan pintu.

“Salma sudah bangun? Sudah salat belum?”
“Iya tante, mau pinjam mukena anak-anak ada?”
“Pakai punya tante aja ya, agak kebesaran sedikit mungkin, sebentar tante ambilkan.”
“Baik tante.” Tanpa dikomando, Salma kmbali ke kamar tengah.
Langsung saja aku lanjutkan niatku membuatkan teh hangat untuk mas Andi. Tidak butuh waktu lama, aku sudah kembali ke kamar membawa secangkir teh hangat. Kudapati suamiku itu sedang terpekur duduk melamun.

“Tehnya diminum mas, selagi hangat.”
Mas Andi memegang tanganku  dan berkata, “Terima kasih Ca, maafkan aku ya. Aku sudah merepotkanmu. Aku juga mohon ampun pada Allah. Aku malu. Akhirnya kejadian ini terulang lagi. Bantu aku Ca. Please.”

Memang ku akui. Sejak peristiwa itu, mas Andi berubah.  Jadi mulai bersinggungan dengan minuman keras. Emosinya tidak stabil. Sering mabuk dan marah-marah tidak karuan. Usahanya telah ditipu oleh bawahannya sendiri. Ia rugi besar. Semua hartanya amblas, tidak tersisa sedikit pun. Usaha yang telah dirintis turun temurun akhirnya runtuh. Ia tergoda untung yang besar, terpedaya karena keserakahannya. Hal ini menyebabkan sang ibu jatuh sakit dan meninggal dunia. Semua keluarga dari suamiku menyalahkannya. Kehidupan kami morat marit, hampir saja kami hidup menggelandang. Untung saja aku masih bisa bekerja, sehingga bisa sedikit menopang biaya hidup kami.

“Aku sadar, tidak sepatutnya aku berlaku seperti itu. Apa pun yang terjadi, itu sudah kuasa Ilahi, harusnya aku tegar mnghadapinya. Semalam aku bermimpi, Ca. Aku merasa itu teguran dari Allah. Bahwa harta bukanlah segalanya. Aku juga masih punya kamu. Sekali lagi aku minta, bantu aku ya Ca. Kita akan mulai lagi usaha ini dari nol.” Panjang lebar mas Andi mengungkapkan isi hatinya.

“Aku sangat senang mendengarnya, mas.” Dalam hati aku bersyukur, “Terimakasih Ya Allah, Kau kembalikan suamiku. Inilah jawaban atas doaku selama ini.”
“Oh ya, siapa anak-anak itu?” Mas andi menyadari ada dua bocah di rumahnya sejak semalam.
“Mas, bolehkah kita rawat anak-anak tersebut?” tanyaku perlahan.
“Tidak, tidak, kita tidak ada uang untuk membiayainya, Ca. Buat hidup kita sendiri aja susah, ini mau menanggung anak orang lain, dua lagi!”
“Tapi mas, kasihan anak-anak itu.” Ujarku
“Tidak, sekali aku bilang tidak, tidak!” Ia meninggalkanku, keluar kamar dan menutup pintu dengan kerasnya.

#Cerbung2
#Tantangan 1 Episode 2
#OdopBatch7

1 komentar untuk "Menanti Taubatmu"