Membaca Sebagai Gerakan Literasi Sekolah

Membaca Sebagai Gerakan Literasi Sekolah
Murid saya kelas satu, berjumlah hampir tiga puluh anak. Separuh dari jumlah mereka belum pandai membaca. Kenal huruf saja belum bisa. Benar-benar mulai dari nol. Hal ini dikarenakan mereka sebelumnya tidak melalui pendidikan di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau TK (Taman Kanak-kanak) yang sejatinya sudah mulai dikenalkan yang namanya huruf dan angka.

Walaupun terdapat pro dan kontra tentang boleh tidaknya anak usia dini belajar calistung (baca, tulis, hitung), namun kita tidak perlu terbawa pada masalah ini. Jika kita sebagai orang tua dan guru ingin mengajari anak membaca, tentu ini adalah hak kita. Sekaligus juga merupakan kewajiban kita untuk mengajarkannya sejak dini, agar anak tidak kesulitan dikemudian hari.

Yang penting adalah, bahwa pengajaran yang kita lakukan tidak melanggar kode etik. Harus sesuai dengan dunia anak-anak, serta tidak terdapat unsur paksaan. Pembelajaran yang dilakukan juga harus menyenangkan. Jadi, bagi orang tua atau guru, sah-sah saja mengajarkan anak membaca sejak usia dini.

Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa pembelajaran membaca untuk anak usia dini bukanlah pada kegiatan membaca itu sendiri, tetapi lebih menekankan pada menumbuhkan minat bacanya.

Sebelum mengajari anak membaca, beberapa hal yang perlu dicermati antara lain, bahwa mereka adalah anak-anak, jadi sesuaikan metode belajarnya dengan usia mereka. Kemudian gunakan metode dan tehnik yang menarik. Pada saat mengajari anak, hindari hal-hal yang dapat menganggu konsentrasi. Lalu perlu juga dicatat setiap kemajuan yang dicapai anak untuk dianalisis sebagai bahan mengajar selanjutnya.

Beberapa metode belajar membaca banyak dikenalkan. Diantaranya adalah sistem bunyi atau fonik. Anak akan diajarkan bunyi-bunyi huruf. Lambang-lambang dari huruf dikaitkan dengan bunyinya masing-masing. Contoh, “s” dibunyikan “ss”, “u”– “uu”, “z” – “zz”, “a” - “aa”, “t” – “tah”, dan seterusnya.

Kemudian, setelah anak tahu hubungan tiap-tiap huruf dengan bunyinya, berikutnya diperkenalkan pada suku kata. Misalnya, ”ka”, ”lu”, ”mi”, “ba”, ”da”, ”tu”, dan sebagainya. Selanjutnya baru suku-suku kata ini digabung menjadi kata, seperti “mama”, “papa”, “batu”, dan sebagainya. Nah, setelah itu, baru kemudian anak diberi latihan membaca yang sederhana.

Penting untuk menjadi perhatian kita, berhentilah sebelum anak bosan. Tak perlu memaksanya melanjutkan belajar bila anak sudah tampak tidak bersemangat. Jadi, orangtua bukan hanya sekedar  menjadi ”guru” yang hanya meminta anak untuk melakukan ini dan itu, namun jadilah sahabat bagi anak.

Kegiatan sambil bernyanyi, bermain, dan menari membuat suasana lebih menyenangkan. Tidak ada keterpaksaan dan tekanan. Karena, suasana yang fun dan tidak membebani anak akan membuatnya lebih menikmati proses belajar membaca ini.

Selain itu, waktu belajar membaca anak tidak perlu seharian full. Sedikit namun sering itu lebih baik. Jangan lupa, sambil berusaha, untaian doa juga senantiasa dipanjatkan, agar segala sesuatunya dimudahkan.

2 komentar untuk "Membaca Sebagai Gerakan Literasi Sekolah "

  1. Wuah ... izinkan saya menjadi muridmu Cekgu🙏
    Izin saved ya Bu Guru😁

    BalasHapus