Memahami Masalah Pada Anak


Memahami Masalah Pada Anak
Memahami Masalah Pada Anak
Berkecimpung di dunia pendidikan anak-anak, utamanya anak usia Sekolah Dasar, dalam keseharian, sudah menjadi sesuatu yang lumrah menemukan anak-anak didik yang ‘luar biasa’ membutuhkan perhatian dan penanganan yang ekstra. Baik dalam hal akademik maupun sosialnya. Anak-anak yang ‘luar biasa’, yang memiliki masalah di sekolah ini, hampir ada di setiap kelas di sekolah kita. Dengan kondisi demikian, muncul pertanyaan, bagaimanakah memahami masalah pada anak?

Lalu, bolehkah guru menggunakan label ‘anak bermasalah’ pada anak didiknya?  Apa sebenarnya yang dimaksud dengan anak bermasalah? Bukankah orang dewasa pun mempunyai masalah? Nah, akhirnya, label negatif inilah yang membuat kita sering bertindak berlebihan dalam menyelesaikan masalah pada anak. Mungkin sebenarnya, masalah yang dialami anak bisa jadi adalah sesuatu  yang  sederhana.

Sebelum membahas masalah pada anak, ada beberapa hal yang harus kita pahami terlebih dahulu. Di antaranya adalah;

1. Pengertian ‘masalah. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan). Biasanya, secara sederhana, dengan mudah kita bisa mengatakan ‘masalah’ jika sebuah kondisi dimana kenyataan (realita) tidak sesuai dengan idealita. Nah, kesenjangan inilah yang disebut masalah. Oleh karenanya, kita harus mempunyai tolok ukur agar kita bisa mengidentifikasi masalah tersebut adalah benar-benar bisa disebut sebagai suatu ‘masalah’.

Untuk mengenal dan memahami masalah pada anak, setidaknya ada dua hal yang bisa kita jadikan patokan, yaitu tahapan perkembangan dan nilai-nilai (value) atau norma yang berlaku. Tahap perkembangan ini adalah kemampuan yang harus dimiliki seseorang sesuai dengan usianya. Misal tugas perkembangan dalam aspek bahasa untuk anak usia 6 tahun adalah mampu menceritakan alur cerita. Jika ia tidak bisa, atau belum bisa maka itu bisa dikategorikan masalah.

Memahami Masalah Pada Anak
Memahami Masalah Pada Anak
Sementara nilai adalah sesuatu yang dianggap penting oleh pribadi maupun masyarakat. Nilai ini bisa berbentuk nilai agama, nilai moral, nilai hukum dan nilai kesopanan. Jadi, jika kita mendapati seorang anak yang bermasalah, maka kita harus berpatokan pada tahap perkembangan dan nilai tersebut. Bukan dengan membandingkan si anak dengan anak lain atau berdasarkan persepsi pribadi kita sendiri.

2. Seorang anak adalah pribadi yang unik. Maka, ketika kita mendeteksi masalah pada anak, kita tidak membandingkannya dengan anak lain, namun dengan kedua patokan diatas.

3. Pendidikan pada dasarnya disesuaikan dengan individu anak. Tugas orang tua dan pendidik untuk mendidik sesuai dengan potensi masing-masing anak. Tidak menyamaratakan anak dalam proses pendidikan.

4. Kontekstual. Orang tua dan pendidik, harus memandang masalah anak sesuai dengan konteksnya, tidak menggeneralisasinya. Misalnya seorang anak mempunyai masalah dengan pelajaran matematika, maka selesaikan masalah pelajaran matematikanya. Tidak menggeneralisasi ia juga bermasalah dengan pelajaran lain atau ia juga anak yang bermasalah dengan perilaku. Cara pandang yang kontekstual Ini, selain mempermudah kita menyelesaikan sebuah masalah juga mencegah kita untuk memberikan label negatif pada anak.

5. Menerima. Orang tua maupun pendidik harus ‘menerima’ dahulu bahwa ada hal yang tidak sesuai dengan kondisi ideal di anak kita. Termasuk menerima jika ternyata akar masalahnya ada di diri kita sebagai orang tua atau pendidik.

Jika sudah memahami hal-hal diatas, maka kita akan lebih mudah dalam mendeteksi dan menangani sebuah masalah yang terjadi pada anak. Masalah yang “terlihat” atau yang tampak di permukaan, biasanya bukanlah akar masalahnya atau bukan masalah yang sebenarnya. Masalah yang tampak adalah akibat dari sebuah akar masalah. Untuk mengetahui apa yang menjadi akar masalah maka kita harus menggali lebih dalam lagi.

Kesalahan melihat masalah ini akan membuat kita tidak tuntas dalam menyelesaikan sebuah masalah. Sehingga masalah itu akan muncul kembali di masa yang akan datang. Kenapa? Karena akar masalahnya belum diselesaikan dengan tuntas. Misalkan seorang anak kecil yang merokok. Kita bisa menyelesaikan dengan terapi berhenti merokok atau membuat peraturan dilarang merokok, namun tidak lama kemudian ia merokok kembali. Ternyata akar masalahnya belum selesai, yaitu lingkungannya yang perokok berat. Ketika rokok dengan mudah didapat dan ada dorongan dari lingkungan, maka ia pun ikut merokok lagi. Namun jika lingkungannya juga diintervensi, maka masalah ini akan bisa diselesaikan dengan tuntas.

Demikian sedikit ulasan tentang bagaimana memahami masalah pada anak. Semoga dapat memberikan pencarahan terhadap guru atau pun orang tua bagaimana seharusnya bersikap secara adil dan bijaksana menghadapi anak-anak yang berbeda tahap perkembangnnya, yang belum sesuai antara harapan dan realita yang ada.

3 komentar untuk "Memahami Masalah Pada Anak"

  1. Sipp. Tulisannya sellalu menginspirasi

    BalasHapus
  2. kok saya merasa tertantang untuk menjadi seorang guru ya. hiks hiks

    BalasHapus
  3. Menilai kemampuan anak berdasarkan 'milestone', bukan membandingkan dengan anak lainnya. Jadi pengingat diri lagi. Terima kasih artikelnya mbak. 🙏🥰

    BalasHapus