Hukuman Dan Disiplin

Mendidik anak itu gampang-gampang susah. Harus tarik ulur layaknya sedang main layang-layang. Harus tau kapan waktunya menarik, dan kapan waktunya mengulur benang. Timingnya harus tepat, pas, dan jitu.

Jangan sampai, alih-alih ingin menaikkan layang-layang hingga terbang tinggi menggapai awan, nyatanya, karena salah tarik dan ulur, malah membuat layang-layang tersebut nyungsep dan akhirnya rusak tidak karuan. Alhasil, layang-layang tidak dapat dimainkan ataupun dinaikkan kembali.

Demikian pula dalam memperlakukan anak-anak. Hendaknya, orang tua harus tau saatnya melejitkan potensi yang dimiliki anak. Kapan anak boleh melakukan hal ini dan itu. Dan untuk hal apa saja, anak tidak boleh melakukannya. Di sini berlaku reward and punishment.

Pada tulisan kali ini, saya akan sedikit mengulas tentang punishment atau hukuman.

Suatu ketika, seorang ibu berkata marah pada anaknya yang tidak mau mandi, sementara hari sudah menjelang sore. “Kalau tidak mau mandi, nanti mama jewer ya!” ucapnya kesal.

Sejenak kita mendengar, kalimat yang dilontarkan sang mama adalah kalimat biasa yang terdengar wajar-wajar saja. Namun, kita perlu tau, bahwa punishment atau hukuman, sebenarnya merupakan jurus terakhir yang hanya diperbolehkan untuk dilakukan jika telah dilalui proses atau tahapan panjang yang telah terjadi sebelumnya.

Sepintas, melakukan hukuman secara fisik seperti memukul, mencubit, menyabet, menjewer, ataupun secara psikis seperti, menghina, dan mengatainya, sangat efektif dalam mendisiplinkan anak. Anak akan langsung melakukannya. Dan tindakan itu dianggap berhasil. Karena perilaku positif yang diharapkan agar anak segera mandi akan cepat terlaksana.

Namun kenyataannya, bahwa mengumbar hukuman fisik dan psikis dalam rangka membuat anak disiplin amatlah tidak efektif. Dan hal ini juga menunjukkan bahwa orang tua yang berlaku seperti itu sangat tidak bijaksana.

Dalam bukunya yang berjudul ‘Easy to Love Difficult to Discipline’ seorang pakar pendidikan bernama Becky A Bailey, PhD mengatakan bahwa orang tua yang sering menghukum ibarat orang yang kehabisan akal. Ia juga memastikan bahwa menghukum untuk mendisiplinkan anak atau mengharapkan perilaku positif yang muncul dari diri anak terbukti tidak efektif. Kalaupun berhasil, itu hanyalah sesaat, hanya karena anak takut dengan hukuman, bukan karena anak menuruti perintah orangtua.

Jika hal tersebut berkelanjutan, akan membuat anak stres dan frustasi. Anak akan merasa bahwa orang tuanya itu telah memaksakan kehendak padanya. Padahal tujuan orang tua sebenarnya baik, yaitu untuk menerapkan disiplin.

Bahkan kejadiannya bisa lebih buruk lagi. Banyak di antara anak-anak yang malah kebal terhadap hukuman yang diterapkan kepadanya. Hukuman fisik tersebut tidak membuat mereka jera dan lantas menjalankan perintah dengan baik. Malah sebaliknya, anak akan merasa lebih baik ia dihukum saja daripada melakukan apa yang diperintahkan orangtuanya.

Dan itu adalah wujud pembangkangan anak, yang akibatnya akan membuat keadaan menjadi lebih sulit. Di sini, orang tua akan menghadapi kenyataan yang mungkin akan lebih menguras emosi, perasaan dan juga kesabaran.

Jadi, sebelum menghukum, apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua untuk mendisiplinkan anaknya? Insyaallah akan saya ulas pada tulisan selanjutnya ya.

Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Semoga bermanfaat. 

3 komentar untuk "Hukuman Dan Disiplin"

  1. paragraph 2 dan 9 ngena banget kak. Ternyata memang seperti itu ya kak. Pantesan aja sekarang gak boleh ada hukuman terhadap anak atau peserta didik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh aja kasih hukuman sebagai langkah terakhir, namun sebelumnya harus melalui tahapan yang panjang terlebih dahulu, seperti misalnya diberi contoh, baru kemudian diberi nasehat, jika masih melanggar beri peringatan 123.. Jadi hukuman itu baru dilakukan jika semua langkah sudah ditempuh..

      Hapus
    2. Makasih sudah berkunjung ya mb selvi.. salam semangat..

      Hapus